
BOLA

Sengketa 4 Pulau Aceh–Sumut: Kemendagri Kurang Kerjaan
Sengketa 4 Pulau Aceh–Sumut: Kemendagri Kurang Kerjaan

Sengketa 4 Pulau Breueh, Pulau Nasi, Pulau Rondo, dan Pulau Seulako—yang terletak di ujung barat laut Provinsi Aceh, kini menjadi perdebatan hangat antara dua provinsi: Aceh dan Sumatera Utara. Perselisihan ini menyorot masalah lama yang belum terselesaikan, namun kini mencuat kembali karena dipicu oleh pernyataan pejabat pusat yang menganggapnya remeh. Bagi banyak kalangan, pernyataan itu bukan hanya tak sensitif, tetapi juga menyinggung nilai-nilai perjuangan daerah.
Pemerintah Aceh mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa Aceh memiliki otonomi khusus, termasuk pengelolaan wilayah kepulauan terluar yang berbatasan langsung dengan negara asing. Di sisi lain, Sumatera Utara merujuk pada data administrasi dari Badan Informasi Geospasial (BIG) dan catatan BPN yang kadang menunjukkan bahwa pulau-pulau tersebut termasuk dalam wilayah Sumut.
Masyarakat lokal berada dalam kondisi yang tidak menentu. Nelayan bingung ke provinsi mana mereka harus mengurus izin. Anak-anak di sekolah dasar tak tahu pasti provinsi mana yang menaungi pendidikan mereka. Infrastruktur minim, dan layanan publik pun terbengkalai karena tarik-menarik otoritas. Kondisi ini diperparah dengan minimnya akses komunikasi yang andal, serta layanan transportasi laut yang sangat tergantung pada cuaca. Ketika badai menerjang, pasokan bahan makanan dan BBM pun terputus.
Sengketa 4 Pulau ini juga kerap luput dari pembangunan nasional, sehingga potensi ekonomi dari perikanan, pariwisata bahari, dan konservasi laut belum tergarap maksimal. Sejumlah investor swasta yang tertarik mengembangkan potensi ekowisata di sekitar Pulau Rondo dan Seulako urung berinvestasi karena status wilayah yang tidak pasti. Sengketa ini pun menghambat pengembangan sektor ekonomi kreatif dan pariwisata lokal.
Respons Pemerintah Terhadap Sengketa 4 Pulau: Kemendagri Dinilai Abaikan Urgensi Daerah
Respons Pemerintah Terhadap Sengketa 4 Pulau: Kemendagri Dinilai Abaikan Urgensi Daerah yang menjadi kontroversi datang dari salah satu pejabat Kementerian Dalam Negeri yang menyebut bahwa “ini urusan kecil, tidak perlu ditangani pusat, pemerintah daerah saja belum tentu tahu letak pastinya.” Kalimat ini memantik amarah masyarakat Aceh. Di media sosial, tagar #PulauKamiAceh sempat menjadi trending. Beberapa tokoh masyarakat menyebut pernyataan tersebut sebagai bentuk arogansi dan meremehkan sejarah panjang konflik administratif di kawasan itu.
Pemerintah Provinsi Aceh secara resmi melayangkan surat klarifikasi ke Kemendagri, menuntut penjelasan dan permintaan maaf atas pernyataan tersebut. Pemerintah Aceh juga meminta agar dilakukan audit data geospasial terbaru, termasuk kunjungan langsung ke lapangan oleh tim dari pusat. Dukungan terhadap langkah ini juga datang dari kalangan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat yang selama ini aktif mengadvokasi otonomi daerah.
Di sisi lain, Pemerintah Sumatera Utara mengambil sikap lebih moderat. Mereka menyatakan bersedia duduk bersama dan menunggu mediasi formal. Namun, sebagian pejabatnya tetap menganggap bahwa selama belum ada keputusan hukum final, maka status wilayah tersebut sah berada di bawah kewenangan Sumut.
Kemendagri kemudian menyatakan bahwa mereka akan meninjau ulang peta batas wilayah berdasarkan data dari BIG dan kementerian teknis lainnya. Namun, publik menilai bahwa respons ini terlalu lambat dan tidak mencerminkan urgensi persoalan di lapangan. Kejelasan administratif diperlukan bukan hanya untuk kepentingan peta, tapi juga untuk layanan dasar masyarakat.
Pemerintah pusat semestinya bersikap proaktif dengan membentuk tim verifikasi lapangan yang terdiri dari unsur independen: akademisi geospasial, sejarawan, ahli hukum tata negara, serta perwakilan masyarakat sipil. Sengketa ini adalah refleksi lemahnya sistem tata batas nasional, dan jika dibiarkan, bisa menciptakan preseden buruk dalam penyelesaian konflik perbatasan di daerah lain.
Masyarakat Terjepit: Dampak Ekonomi, Sosial, Dan Hukum
Masyarakat Terjepit: Dampak Ekonomi, Sosial, Dan Hukum dari ketidakjelasan wilayah ini paling terasa oleh masyarakat di pulau-pulau tersebut. Puluhan ribu nelayan menggantungkan hidup mereka dari laut di sekitar keempat pulau ini. Namun, karena ketidakpastian administratif, banyak dari mereka kesulitan memperoleh izin tangkap ikan, sertifikasi kapal, hingga akses BBM bersubsidi.
Selain itu, program bantuan dari pemerintah daerah kerap tidak menjangkau mereka karena status wilayah yang tidak jelas. Misalnya, program bantuan rumah nelayan, subsidi perahu, dan pelatihan maritim tidak bisa disalurkan karena kedua daerah menganggap wilayah itu bukan tanggung jawab mereka secara resmi.
Dari sisi hukum, masyarakat juga berada dalam dilema. Mereka kerap harus menempuh perjalanan jauh untuk mengurus administrasi kependudukan seperti KTP, akta kelahiran, hingga sertifikat tanah. Beberapa warga bahkan memiliki dua versi dokumen: satu dari Aceh dan satu dari Sumut. Situasi ini berpotensi memicu konflik hukum yang lebih luas jika tidak segera diselesaikan.
Dalam bidang pendidikan, minimnya kehadiran pemerintah membuat sekolah-sekolah di daerah tersebut kekurangan guru dan fasilitas. Anak-anak tidak mendapatkan kurikulum yang konsisten, dan mereka juga tidak memiliki jaminan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi tanpa kepastian wilayah. Tenaga pengajar yang ditempatkan pun seringkali tidak memiliki kejelasan status kepegawaian.
Kesehatan juga menjadi persoalan serius. Fasilitas kesehatan di pulau-pulau tersebut sangat terbatas, dan masyarakat harus menyeberang ke daratan untuk mendapat pengobatan yang layak. Dalam kondisi darurat medis, seperti persalinan atau serangan jantung, nyawa warga menjadi taruhan karena lambatnya evakuasi akibat keterbatasan fasilitas.
Solusi Dan Jalan Tengah: Pemetaan Ulang Dan Perjanjian Daerah
Solusi Dan Jalan Tengah: Pemetaan Ulang Dan Perjanjian Daerah, sejumlah akademisi dan pakar tata ruang menyarankan dilakukan pemetaan ulang wilayah berbasis data satelit, pengukuran lapangan, dan bukti sejarah. Ini penting agar keputusan hukum yang dikeluarkan nanti tidak semata berbasis pada dokumen arsip, tapi juga fakta di lapangan.
Kedua provinsi disarankan untuk menandatangani perjanjian kerja sama yang difasilitasi pemerintah pusat. Perjanjian ini dapat mengatur pembagian tugas administratif sementara, hingga peta wilayah resmi dikeluarkan. Misalnya, Aceh bisa mengurus pelayanan kesehatan dan pendidikan, sementara Sumut bisa membantu pembangunan infrastruktur dasar.
Selain itu, masyarakat lokal harus dilibatkan dalam proses penyelesaian. Pendekatan partisipatif akan membantu pemerintah memahami kondisi nyata di lapangan dan mendapatkan legitimasi sosial dari hasil keputusan. Pemerintah juga dapat membentuk satuan tugas bersama yang terdiri dari unsur TNI, Polri, pemerintah daerah, dan tokoh masyarakat untuk menjaga kondusivitas selama proses penyelesaian berlangsung.
Kemendagri sebagai lembaga yang mengatur otonomi daerah, diminta lebih aktif, bukan justru melempar tanggung jawab. Sengketa ini adalah ujian integritas dan kepemimpinan pusat dalam merespons dinamika kewilayahan yang kompleks.
Jika tidak segera diselesaikan, potensi gesekan sosial dan konflik horizontal di lapangan bisa membesar. Padahal, dengan pendekatan yang adil dan berbasis data, penyelesaian bisa dilakukan tanpa harus mengorbankan martabat dua daerah besar di Indonesia ini.
Sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumut bukan hanya soal siapa berkuasa. Tetapi juga menyangkut nasib ribuan warga yang hidup dalam ketidakpastian. Saatnya pemerintah pusat dan daerah bersinergi untuk menyelesaikan persoalan ini. Dengan cermat, cepat, dan adil—bukan dengan sindiran, melainkan tindakan nyata. Dengan keseriusan politik dan dukungan masyarakat, solusi menyeluruh bukanlah hal yang mustahil dengan Sengketa 4 Pulau.