Sabtu, 19 Juli 2025
Pengiriman Makanan Kini Bisa Dicicil: Risiko Utang Baru
Pengiriman Makanan Kini Bisa Dicicil: Risiko Utang Baru

Pengiriman Makanan Kini Bisa Dicicil: Risiko Utang Baru

Pengiriman Makanan Kini Bisa Dicicil: Risiko Utang Baru

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Pengiriman Makanan Kini Bisa Dicicil: Risiko Utang Baru
Pengiriman Makanan Kini Bisa Dicicil: Risiko Utang Baru

Pengiriman Makanan Kini layanan pemesanan makanan online telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat urban, terutama di kota-kota besar. Di tengah gaya hidup serba cepat dan digital, hadirnya layanan Buy Now, Pay Later (BNPL) dalam pengiriman makanan menjadi inovasi yang dianggap menguntungkan konsumen. Dengan skema ini, siapa pun kini bisa memesan makanan dari restoran favorit tanpa membayar langsung—cukup klik dan cicil belakangan.

Beberapa aplikasi populer di Indonesia, seperti GoFood, ShopeeFood, dan Traveloka Eats, telah mengintegrasikan fitur pembayaran BNPL melalui mitra fintech mereka. Konsumen dapat memesan makanan, dari kopi kekinian hingga nasi padang lengkap, lalu membayar dalam tempo 7, 14, hingga 30 hari. Bahkan ada yang menawarkan opsi cicilan ringan dalam 3 kali pembayaran.

Skema ini semakin menarik karena hadir dengan berbagai promo, seperti potongan harga, cashback, dan penghapusan biaya admin untuk pengguna baru. Banyak pengguna yang merasa terbantu, terutama mereka yang mengalami keterbatasan dana menjelang akhir bulan atau mereka yang belum menerima gaji. BNPL menjadi alternatif “anggaran darurat” untuk tetap bisa makan enak tanpa harus menguras tabungan.

Fenomena ini paling banyak digunakan oleh generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial, yang terbiasa dengan transaksi digital dan pola konsumsi instan. Laporan dari salah satu penyedia BNPL mencatat bahwa hampir 60% pengguna fitur ini memanfaatkannya untuk transaksi makanan dan minuman dalam kisaran Rp30.000–Rp100.000 per pesanan.

Pengiriman Makanan Kini dengan pertumbuhan pesat penggunaan BNPL dalam sektor food delivery, layanan ini menghadirkan kenyamanan, tapi juga potensi risiko keuangan baru yang belum sepenuhnya dipahami oleh mayoritas konsumen. Maka penting untuk memahami mekanismenya secara utuh sebelum menjadikan BNPL sebagai kebiasaan dalam pemenuhan kebutuhan harian, terutama untuk sesuatu yang sifatnya konsumtif seperti makanan siap saji.

Di Balik Kemudahan Pengiriman Makanan Kini: Skema BNPL Dan Mekanisme Bunga Terselubung

Di Balik Kemudahan Pengiriman Makanan Kini: Skema BNPL Dan Mekanisme Bunga Terselubung tampak sederhana dan tanpa bunga, tidak semua skema BNPL untuk layanan pengiriman makanan benar-benar “gratis biaya”. Banyak pengguna yang tergoda dengan janji pembayaran tertunda tanpa memahami sepenuhnya syarat dan ketentuan yang diberlakukan. Skema ini sebenarnya sangat mirip dengan layanan kredit konvensional, hanya saja disamarkan dalam kemasan lebih ringan dan digital.

Sebagian besar penyedia BNPL memang menawarkan cicilan tanpa bunga jika pengguna membayar tepat waktu. Namun, jika terjadi keterlambatan, denda dan bunga tambahan bisa dikenakan. Angkanya bervariasi, mulai dari 0,5% hingga 2% per hari, tergantung pada platform dan mitra fintech yang digunakan. Ini berarti, tagihan camilan senilai Rp50.000 bisa membengkak menjadi Rp60.000–Rp70.000 dalam waktu singkat jika tidak dibayar sesuai jadwal.

Selain itu, beberapa BNPL memiliki biaya layanan tersembunyi seperti biaya admin bulanan, biaya pemrosesan, atau potongan dari cashback. Dalam kasus tertentu, pengguna tidak membaca perjanjian penggunaan secara detail, sehingga terkejut saat menemukan jumlah pembayaran lebih besar dari ekspektasi. Di sinilah letak tantangan edukasi finansial dalam ekosistem BNPL makanan.

Masalah semakin kompleks ketika pengguna memesan makanan secara impulsif karena merasa “bisa dicicil”. Akibatnya, pembelian yang seharusnya tidak terlalu penting menjadi kebiasaan. Tanpa disadari, pengguna membangun perilaku konsumsi yang tergantung pada utang jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan harian. Perilaku ini dalam jangka panjang bisa berdampak buruk, terutama bagi mereka yang tidak memiliki penghasilan tetap atau tabungan darurat.

Beberapa pengguna bahkan menganggap BNPL seperti “uang gratis sementara”, padahal hakikatnya adalah utang. Dengan tidak adanya sistem kredit skor yang transparan bagi publik di Indonesia, banyak pengguna tidak menyadari bahwa keterlambatan pembayaran bisa mempengaruhi reputasi kredit mereka di masa depan, termasuk dalam pengajuan pinjaman atau KPR.

Generasi Z Dan Pola Konsumsi: Gaya Hidup Atau Jebakan Finansial?

Generasi Z Dan Pola Konsumsi: Gaya Hidup Atau Jebakan Finansial? yang kini memasuki usia produktif dan memiliki pengaruh besar dalam tren konsumsi digital, menjadi kelompok paling aktif menggunakan layanan BNPL untuk pengiriman makanan. Dengan karakteristik yang sangat digital-savvy, terbiasa dengan kenyamanan instan, dan sering terpengaruh tren media sosial, Gen Z berada di persimpangan antara menikmati kemudahan dan terjebak dalam gaya hidup konsumtif yang tak terkendali.

Bagi banyak anak muda, memesan makanan lewat aplikasi bukan hanya soal makan, tetapi juga bagian dari gaya hidup. Foto makanan untuk konten Instagram, review kuliner di TikTok, dan eksplorasi kafe kekinian menjadi aktivitas sosial yang sering dilakukan. Ketika BNPL hadir sebagai opsi pembayaran, mereka mendapatkan akses instan untuk mempertahankan gaya hidup ini tanpa harus memikirkan apakah mereka mampu membayarnya sekarang.

Sayangnya, banyak dari mereka belum memiliki kesadaran finansial yang memadai. Survei dari salah satu fintech lokal menunjukkan bahwa 42% pengguna BNPL di bawah usia 25 tahun tidak memiliki anggaran bulanan yang tetap. Lebih dari 60% di antaranya juga mengaku pernah telat membayar tagihan setidaknya sekali dalam tiga bulan terakhir, dan 25% merasa stres akibat menumpuknya utang kecil dari berbagai platform.

Selain karena kurangnya literasi keuangan, faktor tekanan sosial dan FOMO (fear of missing out) juga memperkuat perilaku konsumtif ini. Tak sedikit anak muda yang merasa harus tetap “eksis” dengan memesan makanan viral atau makan di tempat hits, meski keuangan mereka tidak mendukung. BNPL pun menjadi “jalan keluar sementara” agar tetap terlihat up-to-date, meski harus membayar kemudian.

Fenomena ini mengkhawatirkan karena bisa menimbulkan kebiasaan keuangan buruk sejak dini. Ketergantungan pada kredit mikro untuk kebutuhan primer dapat mengikis kemampuan untuk menabung, berinvestasi, atau bahkan memenuhi kebutuhan darurat. Lebih jauh lagi, jika tidak dikendalikan, hal ini berpotensi menciptakan generasi muda yang rentan terhadap krisis keuangan pribadi.

Perluasan Ekosistem BNPL Dan Perlunya Regulasi Ketat

Perluasan Ekosistem BNPL Dan Perlunya Regulasi Ketat dengan semakin banyaknya perusahaan fintech yang memasuki pasar BNPL untuk makanan, persaingan pun semakin ketat dan agresif. Mereka berlomba-lomba menawarkan limit besar, proses persetujuan cepat, dan kemudahan penggunaan hanya dengan satu klik. Ekosistem ini tumbuh pesat, namun sayangnya belum diimbangi dengan regulasi yang cukup kuat untuk melindungi konsumen dari potensi penyalahgunaan atau jebakan utang.

Saat ini, pengawasan terhadap layanan BNPL masih berada dalam area abu-abu. Beberapa platform diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sementara lainnya belum sepenuhnya tunduk. Pada pengawasan ketat karena belum dikategorikan sebagai lembaga pembiayaan konvensional. Hal ini menciptakan celah yang bisa dimanfaatkan oleh penyedia layanan yang tidak bertanggung jawab.

Dalam beberapa kasus, terjadi penagihan agresif kepada konsumen yang telat membayar tagihan makanan. Bahkan ada laporan tentang ancaman dari pihak ketiga, yang mengingatkan kembali masalah klasik dari pinjaman online ilegal. Meski jumlahnya tidak sebanyak di sektor pinjaman tunai, ini menunjukkan potensi masalah yang mungkin semakin besar jika tidak diantisipasi.

Selain itu, penyedia BNPL cenderung lebih fokus pada akuisisi pengguna baru daripada memastikan kemampuan membayar. Verifikasi penghasilan pengguna sering kali tidak dilakukan dengan benar, dan algoritma pemberian limit masih belum akurat dalam menilai risiko. Di sinilah pentingnya peran regulator untuk mengatur agar penggunaan BNPL, terutama untuk pengeluaran kecil seperti makanan, tetap dalam batas aman.

Tanpa regulasi dan kesadaran konsumen, pertumbuhan BNPL di sektor makanan bisa menjadi krisis kecil yang tidak disadari. Oleh karena itu, ekosistem ini perlu dikelola secara hati-hati agar inovasi yang seharusnya memudahkan hidup. Tidak malah menjerumuskan konsumen ke dalam siklus utang baru dengan Pengiriman Makanan Kini.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait