Rabu, 21 Mei 2025
WHO Peringatkan Lonjakan Kasus Obesitas Anak Di Asia Tenggara
WHO Peringatkan Lonjakan Kasus Obesitas Anak Di Asia Tenggara

WHO Peringatkan Lonjakan Kasus Obesitas Anak Di Asia Tenggara

WHO Peringatkan Lonjakan Kasus Obesitas Anak Di Asia Tenggara

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
WHO Peringatkan Lonjakan Kasus Obesitas Anak Di Asia Tenggara
WHO Peringatkan Lonjakan Kasus Obesitas Anak Di Asia Tenggara

WHO Peringatkan baru-baru ini merilis laporan yang mengungkap lonjakan signifikan dalam kasus obesitas anak di kawasan Asia Tenggara. Dalam laporan bertajuk “Obesity in Children: A Growing Crisis in Southeast Asia 2025”, disebutkan bahwa prevalensi obesitas pada anak-anak berusia 5 hingga 19 tahun meningkat hampir dua kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir di beberapa negara anggota, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

Menurut laporan tersebut, pada tahun 2010, rata-rata prevalensi obesitas anak di kawasan ini berada di angka 7%. Namun pada 2024, angka itu melonjak menjadi 13,8%, dengan prediksi akan menembus angka 16% pada tahun 2026 jika tidak segera ditangani. Indonesia sendiri mengalami kenaikan dari 8,3% menjadi 14,1%, menempatkan negara ini sebagai salah satu dengan peningkatan tercepat di kawasan.

WHO menyoroti bahwa obesitas anak bukan hanya masalah estetika atau penampilan fisik, tetapi merupakan masalah kesehatan serius. Anak-anak yang mengalami obesitas memiliki risiko lebih tinggi mengalami penyakit tidak menular seperti diabetes tipe 2, hipertensi, gangguan jantung, hingga masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan. Selain itu, obesitas di masa anak-anak berpeluang besar berlanjut hingga dewasa.

Dr. Hans Kluge, Direktur Regional WHO untuk Asia Tenggara, dalam pernyataan resminya mengatakan bahwa masalah ini memerlukan tindakan segera dan menyeluruh dari berbagai sektor. “Kita menghadapi krisis yang diam-diam mengancam generasi masa depan. Pemerintah, sekolah, komunitas, dan keluarga harus bergerak bersama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung gaya hidup sehat bagi anak-anak,” tegasnya.

WHO Peringatkan laporan ini menjadi alarm bagi negara-negara di Asia Tenggara untuk segera menyusun kebijakan dan program yang lebih agresif dalam menangani isu obesitas anak. Pendekatan multisektor—yang melibatkan kebijakan pangan, regulasi iklan makanan, pendidikan, dan penguatan layanan kesehatan primer—dianggap sebagai solusi jangka panjang yang efektif.

Faktor Pemicu: Gaya Hidup Modern Dan Minimnya Aktivitas Fisik Sehingga WHO Peringatkan

Faktor Pemicu: Gaya Hidup Modern Dan Minimnya Aktivitas Fisik Sehingga WHO Peringatkan, tidak terjadi secara tiba-tiba. WHO mengidentifikasi sejumlah faktor utama yang menjadi pemicu, dengan dominasi pola makan tidak sehat dan kurangnya aktivitas fisik yang menjadi penyebab utama. Kombinasi dari gaya hidup modern yang serba instan dan perubahan nilai-nilai dalam pola asuh keluarga telah memicu perubahan drastis dalam kesehatan anak-anak.

Saat ini, konsumsi makanan ultra-proses (ultra-processed foods) meningkat tajam. Makanan jenis ini mudah didapat, murah, serta memiliki cita rasa yang kuat karena kandungan gula, garam, dan lemak yang tinggi. Sayangnya, makanan ini sering menjadi pilihan utama baik oleh anak-anak maupun orang tuanya yang memiliki keterbatasan waktu atau pengetahuan gizi. Produk seperti mie instan, camilan kemasan, dan minuman manis sudah menjadi konsumsi harian sebagian besar anak-anak di kota besar.

Selain itu, waktu bermain di luar rumah yang seharusnya dimanfaatkan untuk aktivitas fisik tergeser oleh aktivitas digital. Anak-anak kini lebih banyak duduk di depan layar, baik untuk belajar daring maupun bermain game. Studi WHO mencatat bahwa lebih dari 70% anak-anak di kawasan Asia Tenggara menghabiskan lebih dari dua jam per hari di depan layar, jauh di atas batas yang direkomendasikan.

Di sisi lain, faktor lingkungan juga turut memperburuk situasi. Minimnya ruang terbuka hijau, keterbatasan akses ke sarana olahraga yang aman, serta tingginya paparan iklan makanan tidak sehat di televisi dan media digital membuat anak-anak semakin terpapar gaya hidup sedentari dan konsumsi tinggi kalori.

Mengatasi faktor-faktor ini memerlukan pendekatan holistik. Intervensi tidak hanya harus dilakukan di tingkat individu dan keluarga, tetapi juga melalui regulasi dan intervensi kebijakan publik. WHO menyerukan kepada pemerintah di Asia Tenggara untuk mengatur pemasaran makanan ke anak-anak, menetapkan pajak terhadap makanan tinggi gula, serta mendorong integrasi pendidikan gizi dalam kurikulum sekolah.

Respon Pemerintah Dan Peran Sekolah Dalam Pencegahan Obesitas Anak

Respon Pemerintah Dan Peran Sekolah Dalam Pencegahan Obesitas Anak untuk mengambil langkah-langkah strategis. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan lonjakan signifikan, mulai memperkuat program pencegahan obesitas di tingkat sekolah dan keluarga. Kementerian Kesehatan, melalui Direktorat Gizi Masyarakat, telah meluncurkan program Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) yang kini diperluas dengan fokus khusus pada pencegahan obesitas anak.

Kebijakan terbaru Kemenkes mencakup sosialisasi menu gizi seimbang di sekolah, larangan penjualan makanan tidak sehat di lingkungan sekolah, dan pelatihan guru serta tenaga kesehatan sekolah tentang pola makan sehat. Pihak sekolah diharapkan menjadi agen perubahan gaya hidup sehat sejak dini. Program UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) juga ditingkatkan kualitasnya, dengan menambahkan kegiatan rutin seperti olahraga mingguan dan kelas edukasi gizi.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa sekolah memiliki peran penting dalam mencegah obesitas. “Anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah, jadi lingkungan sekolah harus mendukung tumbuh kembang yang sehat, baik dari aspek makanan, aktivitas fisik, maupun edukasi,” ujarnya dalam sebuah seminar kesehatan anak.

Pemerintah juga bekerja sama dengan sektor swasta, khususnya industri makanan dan minuman, untuk memproduksi makanan sehat yang terjangkau dan mengatur iklan makanan yang ditujukan kepada anak-anak. Salah satu langkah konkret yang sedang digodok adalah pelabelan gizi yang lebih jelas pada kemasan makanan serta larangan iklan makanan tidak sehat selama jam tayang anak.

Kementerian Pendidikan juga mulai meninjau ulang kurikulum untuk menambahkan. Materi edukatif tentang gaya hidup sehat, bahaya obesitas, dan pentingnya aktivitas fisik. Selain teori, siswa akan diajak langsung untuk menerapkan praktik hidup sehat. Melalui kegiatan kelas luar ruangan, lomba menu sehat, dan program “satu hari tanpa makanan kemasan”.

Dampak Jangka Panjang Dan Urgensi Penanganan Menyeluruh

Dampak Jangka Panjang Dan Urgensi Penanganan Menyeluruh,  WHO menegaskan bahwa obesitas. Yang tidak ditangani sejak dini dapat membawa dampak serius di masa depan. Anak-anak yang mengalami obesitas memiliki risiko lima kali lipat untuk tetap mengalami obesitas. Saat dewasa, dengan konsekuensi kesehatan yang berat seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung, stroke, dan gangguan metabolik lainnya.

Selain dampak fisik, obesitas juga berdampak pada kesehatan mental. Banyak anak obesitas mengalami perundungan, diskriminasi sosial, dan krisis kepercayaan diri yang bisa memengaruhi prestasi akademik dan hubungan sosial mereka. Depresi, kecemasan, dan gangguan makan juga lebih banyak ditemukan pada anak-anak dengan berat badan berlebih.

Dari sisi ekonomi, beban biaya kesehatan akibat penyakit terkait obesitas diperkirakan akan membengkak tajam dalam beberapa dekade ke depan. Negara-negara berkembang seperti Indonesia yang masih berjuang meningkatkan akses kesehatan dasar. Akan menghadapi tantangan tambahan jika tidak mengambil langkah preventif sekarang.

Urgensi penanganan obesitas anak terletak pada perlunya intervensi lintas sektor yang berkelanjutan. Ini bukan hanya tanggung jawab Kementerian Kesehatan, tetapi juga Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial. Bahkan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mengatur iklan dan kampanye digital.

WHO menyarankan strategi “WHO Set of Recommendations on the Marketing of Foods. And Non-alcoholic Beverages to Children” diadopsi penuh oleh negara-negara Asia Tenggara. Strategi ini mencakup regulasi ketat terhadap iklan makanan tidak sehat, pelabelan makanan yang jelas dan mudah dipahami, serta peningkatan literasi gizi bagi masyarakat.

Pemerintah, komunitas, dan keluarga harus menjadi garda depan dalam upaya ini. Jika semua pihak bergerak secara konsisten, target penurunan prevalensi obesitas anak secara global. Hingga 2030 yang ditetapkan oleh WHO akan dapat tercapai.

Masa depan kesehatan generasi muda kini berada di tangan kita bersama. Perubahan pola hidup, lingkungan yang mendukung, serta kebijakan yang berpihak pada kesehatan anak menjadi fondasi utama. Dengan komitmen kolektif, krisis obesitas anak di Asia Tenggara dapat diatasi sebelum mencapai titik yang lebih parah sehingga WHO Peringatkan.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait