Minggu, 14 September 2025
Lembaga Survei Rilis Elektabilitas Capres 2029
Lembaga Survei Rilis Elektabilitas Capres 2029

Lembaga Survei Rilis Elektabilitas Capres 2029

Lembaga Survei Rilis Elektabilitas Capres 2029

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Lembaga Survei Rilis Elektabilitas Capres 2029
Lembaga Survei Rilis Elektabilitas Capres 2029

Lembaga Survei, memasuki tahun politik yang semakin dinamis, Lembaga Survei Nasional (LSN) merilis hasil survei terbaru terkait elektabilitas calon presiden (capres) untuk Pilpres 2029. Survei ini dilakukan terhadap 2.000 responden yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, dengan metode tatap muka dan margin of error ±2,1 persen serta tingkat kepercayaan 95 persen. Hasil ini menggambarkan peta kekuatan politik menjelang pesta demokrasi lima tahunan tersebut.

Dalam hasil survei tersebut, muncul tiga nama teratas yang mendominasi pilihan publik. Di urutan pertama, Gubernur Jawa Tengah, Andika Prasetya, memperoleh elektabilitas sebesar 22,4 persen. Ia dianggap sebagai figur muda dengan kepemimpinan kuat, rekam jejak birokrasi yang panjang, dan kedekatannya dengan generasi milenial serta Gen Z. Program digitalisasi pemerintahan dan pelayanan publik berbasis teknologi yang ia canangkan di Jawa Tengah dinilai berhasil dan menjadi sorotan positif.

Di posisi kedua, Menteri Sosial, Lestari Ramadhani, mencatat elektabilitas 19,8 persen. Ia dikenal melalui program bantuan sosial yang menyasar masyarakat miskin secara tepat sasaran, serta citra sebagai sosok perempuan tegas dan empatik. Popularitasnya menguat terutama di wilayah Indonesia Timur dan Sumatera bagian selatan, di mana program sosialnya dinilai berhasil menekan angka kemiskinan.

Sementara itu, di posisi ketiga, Ketua Umum Partai Nasional Progresif, Raka Mahendra, meraih dukungan sebesar 16,5 persen. Raka merupakan figur politik muda yang aktif menyuarakan isu-isu ekonomi kreatif, keberlanjutan lingkungan, dan pendidikan. Elektabilitasnya tinggi di kalangan pemilih kota besar, khususnya yang berusia 20 hingga 40 tahun. Ia dikenal luas melalui aktivitasnya di media sosial dan forum-forum kewirausahaan nasional.

Lembaga Survei, menyatakan bahwa peta elektabilitas masih bersifat dinamis dan akan terus berubah seiring waktu. Sekitar 18,9 persen responden masih belum menentukan pilihan (undecided voters). Ini menunjukkan bahwa peluang para kandidat untuk meningkatkan dukungan masih sangat terbuka, tergantung pada strategi komunikasi politik dan kebijakan publik yang mereka jalankan dalam beberapa tahun ke depan.

Faktor Penentu Elektabilitas: Kinerja, Media Sosial, Dan Reputasi Keluarga

Faktor Penentu Elektabilitas: Kinerja, Media Sosial, Dan Reputasi Keluarga, terungkap bahwa faktor utama yang mempengaruhi elektabilitas calon presiden bukan hanya berasal dari partai politik, tetapi lebih pada kombinasi dari rekam jejak kinerja, kehadiran di media sosial, dan citra personal serta keluarga. Ketiga elemen ini menjadi penentu dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap seorang calon pemimpin nasional.

Kinerja dinilai sebagai faktor paling penting oleh 63 persen responden. Tokoh-tokoh yang memiliki pengalaman pemerintahan dan menunjukkan hasil kerja nyata cenderung mendapatkan dukungan lebih besar. Misalnya, Andika Prasetya mendapatkan apresiasi luas atas reformasi birokrasi yang ia lakukan di Jawa Tengah, termasuk kemajuan dalam digitalisasi layanan publik dan pengentasan kemiskinan berbasis komunitas. Demikian pula, Lestari Ramadhani dinilai sukses menjalankan program jaring pengaman sosial di tengah fluktuasi ekonomi pasca pandemi.

Sementara itu, peran media sosial tidak kalah penting. Sekitar 68 persen pemilih usia 17–35 tahun mengaku mengenal calon presiden dari aktivitas mereka di media sosial. Tokoh seperti Raka Mahendra dan Arjuna Setiadi menjadi populer karena konten-konten edukatif dan interaktif mereka yang tersebar di TikTok, Instagram, dan YouTube. Media sosial memberikan ruang luas untuk membangun narasi politik yang personal, cepat, dan menjangkau pemilih muda yang cenderung kritis.

Reputasi keluarga dan latar belakang pribadi juga masih menjadi faktor yang dipertimbangkan. Tokoh-tokoh yang memiliki citra bersih, tidak terlibat skandal, dan berasal dari keluarga dengan rekam jejak publik yang positif dinilai lebih bisa dipercaya. Hal ini tercermin dari preferensi publik terhadap kandidat yang dikenal sederhana, bersih, dan tidak terlalu terasosiasi dengan elitisme politik lama.

LSN juga mencatat bahwa gaya komunikasi yang membumi, merakyat, dan inklusif menjadi nilai tambah besar. Tokoh yang mampu menyampaikan program secara jelas dan berbicara dalam bahasa yang mudah dipahami cenderung lebih mudah diterima publik. Pendekatan emosional dan kedekatan langsung dengan masyarakat juga dianggap mampu menciptakan loyalitas pemilih yang kuat.

Elektabilitas Capres Berdasarkan Wilayah Dan Segmentasi Pemilih Dari Lembaga Survei

Elektabilitas Capres Berdasarkan Wilayah Dan Segmentasi Pemilih Dari Lembaga Survei sangat bervariasi tergantung wilayah geografis dan segmentasi demografis pemilih. Di Pulau Jawa, terutama Jawa Tengah dan Yogyakarta, Andika Prasetya meraih dukungan sangat tinggi, mencapai lebih dari 30 persen. Hal ini didorong oleh keberhasilannya memimpin provinsi tersebut dengan program pembangunan yang dianggap progresif dan berpihak pada masyarakat bawah.

Sebaliknya, di wilayah Sumatera dan Indonesia Timur, Lestari Ramadhani mendominasi elektabilitas dengan perolehan lebih dari 25 persen. Citra dirinya sebagai sosok yang peka terhadap isu sosial dan berhasil menyalurkan bantuan tepat sasaran menjadi alasan utama dukungan masyarakat di wilayah tersebut. Sementara itu, Raka Mahendra mendapat dukungan paling besar di kawasan perkotaan seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar, terutama di kalangan milenial dan Gen Z yang cenderung melek teknologi dan memiliki tingkat pendidikan tinggi.

Di luar nama-nama besar tersebut, terdapat kecenderungan meningkatnya dukungan terhadap calon dari latar belakang militer dan profesional independen di wilayah Kalimantan dan Papua. Misalnya, Jenderal (Purn) Dwi Cahyo mendapat dukungan tinggi di Kalimantan karena keterlibatannya dalam pengamanan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Arjuna Setiadi, dengan rekam jejaknya di bidang teknologi dan transformasi digital, mulai dilirik masyarakat urban dan semi-urban di wilayah Indonesia Timur.

Segmentasi berdasarkan usia juga memperlihatkan perbedaan signifikan. Pemilih berusia di atas 50 tahun lebih memilih calon yang berpengalaman di pemerintahan dan memiliki latar belakang partai politik. Sementara itu, pemilih muda lebih tertarik pada tokoh yang aktif menyuarakan isu-isu masa depan seperti perubahan iklim, transformasi digital, dan keadilan sosial. Para capres yang ingin menang pada 2029 dituntut untuk mampu menyusun strategi yang sesuai dengan karakteristik masing-masing segmen pemilih tersebut.

Tantangan Dan Potensi Perubahan Peta Elektabilitas Ke Depan

Tantangan Dan Potensi Perubahan Peta Elektabilitas Ke Depan LSN menekankan bahwa peta elektabilitas masih sangat cair. Dalam empat tahun ke depan, berbagai faktor bisa mempengaruhi perubahan besar dalam preferensi pemilih. Salah satunya adalah dinamika internal partai politik yang mungkin mengubah arah dukungan terhadap kandidat tertentu.

Koalisi partai akan menjadi kunci utama dalam penguatan elektabilitas. Kandidat yang berhasil meraih dukungan partai besar dan membentuk poros koalisi kuat akan lebih mudah memobilisasi sumber daya dan jaringan kampanye. Namun demikian, dengan meningkatnya jumlah pemilih independen dan kritis, kekuatan koalisi saja tidak lagi cukup jika tidak dibarengi dengan program nyata dan komunikasi yang efektif.

Tantangan lainnya adalah pengaruh media dan peristiwa politik besar seperti krisis ekonomi, bencana, atau isu-isu global yang bisa mengubah persepsi publik secara drastis. Dalam situasi darurat, masyarakat cenderung mencari figur yang dianggap mampu menyelesaikan krisis secara cepat dan tepat. Hal ini membuka peluang bagi tokoh-tokoh yang selama ini berada di luar sorotan untuk naik ke permukaan.

Selain itu, popularitas di media sosial juga menjadi pedang bermata dua. Tokoh yang terkenal belum tentu disukai, dan sentimen negatif di media sosial bisa cepat menyebar. Oleh karena itu, kandidat perlu membangun tim komunikasi yang tangguh, cepat merespons isu, dan mampu menjaga citra positif secara konsisten.

LSN juga mengingatkan pentingnya konsistensi kebijakan dan etika publik. Banyak pemilih yang mulai jenuh dengan politik pencitraan dan lebih menghargai kandidat yang konsisten dengan visi dan tindakan. Kandidat yang menunjukkan integritas, keberpihakan pada rakyat, dan keterbukaan terhadap kritik akan lebih mudah diterima oleh pemilih rasional.

Dengan berbagai dinamika tersebut, Pilpres 2029 diprediksi akan menjadi salah satu kontestasi paling terbuka dan kompetitif dalam sejarah pemilu Indonesia. Siapa yang akan menjadi pemenang bukan hanya ditentukan oleh kekuatan politik, tetapi juga oleh. Kemampuan membaca perubahan zaman dan menjawab harapan masyarakat luas dari Lembaga Survei.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait